Dunia Sophie dan Pendidikan Filsafat Kita

Kalau anda menyenangi filsafat, tentu pernah membaca atau setidaknya mendengar sebuah novel yang diterbitkan Mizan sekitar tahun 1996-an.   Novel itu adalah Dunia Sophie  buah karya Jostein Gaarder yang aslinya berbahasa Nowegia.

Sophie pada novel tersebut adalah Sophie Amundsen seorang gadis remaja berumur 14 tahun yang hidup di Norwegia bersama dengan Ibunya sekitar tahun 1990 an.  Ayah Sophie diceritakan sebagai seorang pekerja yang selalu berlayar dan jarang berada di rumah.  Namun walaupun begitu, tampaknya Sophie tumbuh dan berkembang secara bahagia.

Gadis 14 tahun itu berkenalan dengan tokoh-tokoh filsafat dunia melalui surat-menyuratnya dengan seseorang yang awalnya misterius, Alberto Knox.  Selanjutnya, isi cerita perjalanan Sophie dapat dibaca di https://id.wikipedia.org/wiki/Dunia_Sophie  atau Anda membeli bukunya.

Bagi saya, selain ceritanya menarik dan dapat belajar filsafat secara historis, identitas Sophie sendiri cukup menarik.  Begini:

Pertama, nama Sofi atau Sophie  dipilih dengan cermat oleh pengarang untuk mengaitkan nama tersebut dengan istilah Philosophia.  Philosophia dalam Bahasa Indonesia berarti filsafat.

Kedua, umur Sophie yang baru 14 tahun.  Belajar filsafat pada umur tersebut bukanlah sesuatu yang umum bagi remaja-remaja di Indonesia.   Kurikulum sekolah menengah tidak menyediakan capaian kompetensi yang berkaitan dengan filsafat.  Bahkan di tingkat sarjana pun filsafat tidak diajarkan kecuali memang mengambil jurusan filsafat atau jurusan-jurusan tertentu.  Paling-paling kalau beruntung, Kita dapat pelajaran filsafat secara formal jika kita mengambil pendidikan sampai strata 2 atau strata 3 dan itu pun hanya filsafat ilmu serta hanya sejumlah kecil dari kita yang beruntung.

Di beberapa negara Eropa, pelajaran filsafat menjadi bagian mata pelajaran sekolah tingkat menengah.  Survey Unesco tahun 2007 menyatakan bahwa pelajaran filsafat diberikan kepada siswa di sekolah menengah di beberapa negara seperti  Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Cyprus, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Israel, Italia, Latvia, Monaco, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Serbia, Slowakia, Spanyol dan Turki.

Nah …. dengan memperhatikan kurikulum yang memuat filsafat sebagai mata pelajaran di negara-negara  tersebut maka tampaknya tidaklah mengherankan jika tokoh utama dalam novel tersebut adalah seorang gadis remaja berusia 14 tahun.  Bukan?

Novel Sofies verden ini juga ternyata sudah difilmkan.  Beberapa tahun yang lalu saya pernah menemukan filmnya full di youtube  namun kini tampaknya sudah dihilangkan dari ruang penyimpanan youtube sehingga kita tidak bisa melihatnya kecuali potongan-potongan trailer.  Untuk menikmatinya secara penuh, kini kita harus melihatnya secara streaming di situs-situs seperti:  http://country.filminstan.pw/0125507

 


 

 

Sedekah

Oleh:  Ahmad Syihabuddin bin Salamah Al Qalyubi

 

Dalam perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji,Abdullah bin Mubarak singgah di kota Kufah.  Di kota itu beliau melihat seorang wanita sedang mencabuti bulu itik ditempat sampah.

Dalam hati, beliau merasa bahwa itik itu adalah bangkai.

Lantas beliau bertanya kepada wanita itu, “ Itik itu bangkai atau sudah disembelih?”

Wanita itu menjawab, “Bangkai, yang akan saya makan bersama keluarga.”

Beliau berkata pula, “Bukankah Nabi SAW telah mengharamkan daging bangkai?”

Wanita itu membentak, “Sudah, pergilah kau dari sini!”

Abdullah tetap menanyainya, hinga akkhirnya wanita itu membuka rahasianya.

Ia mengatakan, “Saya mempunyai putera yang masih kecil-kecil, sudah tiga hari mereka tidak makan, sehingga saya terpaksa member mereka daging bangkai ini.”

Mendengar jawaban sedih wanita itu, Abdullah bin Mubaraksegera pergi kembali mengambil makanan dan pakaian, yang diangkut dengan keledainya.  Kemudian beliau kembali ketempat tinggal wanita itu.

Setelahbertemu muka, beliau berkata, “Ini uang, pakaian dan makanan.  Ambilah berikut keledai dan segala yang ada padanya!”

Kemudian beliau tinggal di kota itu karena waktu haji telah lewat.

Akhirnya ketika orang-orang yang telah menunaikan haji pulang kembali ke negeri mereka, maka Abdullah pulang juga bersama mereka.

Setelah tiba di kotanya, orang –orang datang kepada beliau sambil mengucapkan selamat karena telah menunaikan ibadah haji.

Tetap beliau menjawab, “Tahun ini saya tidak jadi naik haji.”

Seseorang menegurnya, ”Subhanallah, bukankah saya telah menitipkan uang saya kepada anda, lalu saya ambil kembali di Arafat?”

Yang lain berkata, “Bukankah anda telah memberi saya minum di tempat anu dulu?”

Dan yang lain berkata pula, “Bukankah anda telah membelikan ini dan itu?”

Abdullah menjawab, “Saya tidak mengerti apa yang kalian katakan, sebab saya tidak jadi naik haji pada tahun ini.”

Pada malam harinya, dikala tidaur, beliau bermimpi mendengar suara gaib yang mengatakan, “Hai Abdullah, sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu dan telah mengutus seorang malaikat menyerupai dirimu untuk melaksanakan ibadah haji sebagai ganti dirimu!”

 


Diketik ulang dari buku terjemahan:

An Nawadir karyaAhmad Syihabuddin bin Salamah Al Qalyubi

Penterjemah Idrus Alkaf, Penerbit Al Bayan 1990, “Membuka Pintu Langit,  Anekdot Sufi”

2014-05-07 18.09.31

 


 

Two Old Men: Hembusan Sufistik Leo Tolstoy

Perjalanan Abdullah bin Mubarak ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, mengingatkan saya pada sebuah karya sastra yang ditulis oleh Leo Tolstoy berjudul Two Old Men.  Karya itu terdiri dari 12 bagian yang menceritakan perjalanan dua orang lelaki tua pergi berziarah ke Yerussalem.  

Leo Tolstoy
Leo Tolstoy

 

Beginilah ringkasannya.

 

Dua orang lelaki yang sudah lanjut usia, Efim dan Elisha, hidup bertetangga di sebuah desa di Rusia.  Efim termasuk orang kaya dan selalu sibuk dengan pekerjaannya. Walaupun begitu, Efim tidak pernah minum alcohol, merokok,dan selalu bertutur kata dengan baik.  Sedangkan Elisha adalah pemelihara lebah yang tidak kaya juga tidak miskin.  Elisha orangnya ramah, baik terhadap tetangga.

Pada suatu waktu, Efim dan Elisha memutuskan untuk pergi berziarah ke Yerussalem (Palestina).  Sebetulnya, niat untuk pergi bersama keYerussalem sudah mereka miliki sejak lama namun sulit mereka laksanakan karena kesibukan masing-masing.  Kin, perjalanan pun dimulai.

Untuk sampai ke Yerussalem, mereka harus berjalan kaki berbulan-bulan dan kemudian harus menyeberangi laut dengan menggunakan perahu.  Dalam perjalanan kakinya, mereka menemukan daerah dengan karakter yang berbeda.  Terkadang di suatu daerah, mereka harus banyak mengeluarkan uang untuk membeli makanan, sementara di daerah lain mereka dijamu bagai tamu.

Sampai suatu ketika, di suatu jalan desa, mereka harus berpisah. Elisha kelelahan dan kehausan, sementara Efim tidak mau berhenti.  Pergilah Efim melanjutkan perjalanan, sementara Elsiha pergi ke suatu rumah, di desa itu, untuk meminta air minum dan berjanji akan menyusul Efim.

Rumah yang dituju Elisha tampak sepi bagai tak berpenghuni. Alih-alih mendapatkan pertolongan Elisha malah menemukan seorang wanita tua, seorang lelaki,dan dua anak-anak yang hampir mati karena kelaparan.  Kebaikan yang dimiliki Elisha menuntun Elisha untuk menolong mereka.  Berhari-hari Elisha di rumah itu, menolong dan memulihkan mereka dari ketidakberdayaan.  Sebagian uang bekal ziarahnya telah ia habiskan untuk membelikan makanan, membelikan kuda, membelikan apa-apa yang diperlukan keluarga itu untuk terus bangkit dan meneruskan hidup.  Ketika keluarga itu sudah kuat, Elisha pergi diam-diam.

Tadinya Elisha akan menyusul Efim,  namun karena bekal uangnya hampir habis makaia memutuskan untuk pulang ke rumah menemui istri dan anak-anaknya.  Elisha tidak menceritakan tentang keluarga yang kelaparan itu, kepada penduduk desa ia hanya mengatakan bahwa bekalnya habis diperjalanan.

 

Apa yang terjadi dengan Efim?

Efim sampai di Yerussalem, berkeliling ke Bethlehem, Bethany, dan Jordan.  Di sana dia berkali-kali melihat teman seperjalanannya, Elisha.  Berkali-kali pula Ia berusaha  mendekati Elisha dan menanyakan bagaimana Elisha bisa sampai ke Yerussalem, namun usahanya itu selalu gagal karena Elisha sekonyong-konyong lenyap dikeramaian.  Sekitar enam minggu Efim berada di Yerussalem, uangnya habis dan hanya tersisa untuk bekal pulang.  Dia berjalan ke Jaffa, kemudian berlayar ke Odessa, dan dari sana berjalan kaki kembali kerumah.

Efim mengambil jalan yang sama dengan saat ia pergi.  Di desa dimana ia berpisah dengan Elisha, Efim memutuskan untuk mengunjungi ruamh yang dituju oleh sahabatnya waktu itu.  Di rumah itu, Efim disambut dengan hangat oleh tuan rumah. Tuan rumah memberinya makanan, minuman, dan ditawari untuk menginap dirumah itu.  Tuan rumah bercerita bahwa mereka dulu hamper mati kelaparan namun kemudian ditolong oleh seorang leleki tua sehingga dapat bangkit lagi hingga sekarang.  Tuang rumah juga menceritakan cirri-ciri orang tua yang pernah menolongnya, dan Efim tahu bahwa yang mereka ceritakan tidak lain adalah sahabatnya, Elisha.

Pulanglah Efim dengan segala pertanyaan tentang Elisha.  Sesampainya di desa, penduduk desa menyalaminya.  Dari penduduk desa, Efim tahu bahwa Elisha sudah lama pulang dan tidak pernah sampai ke Yerussalem.  Efim kemudian mengunjungi sahabatnya, Elisha, namun ia tidak menceritakan bahwa ia melihat Elisha diYerussalem dan juga tidak menceritakan keluarga miskin di desa tempat merekaberpisah itu.  Efim kini menyadari sesuatu.

Bacalah Buku!

“Setiap pemimpin dunia harus baca buku ini” begitulah kira-kira kata Hugo Rafael Chávez, presiden Venezuela saat itu, ketika berkesempatan berbicara di PBB. Buku yg dimaksud adalah “Hegemony or Survival” yang mengupas politik luar negeri Amerika ditulis oleh Noam Chomsky. Noam Chomsky adalah profesor MIT bidang linguistik. Selain buku itu, dia juga menulis “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media”.

Seandainya masih hidup, Saya yakin tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka dll. akan segera membaca buku itu tanpa disuruh. Mereka tidak sekedar pelaku politik tapi juga pembaca buku dan bahkan penulis buku. Dalam bukunya, Madilog, Tan Malaka menceritakan bagaimana dia lebih baik membeli buku dari pada membeli pakaian baru bahkan sekalipun hal itu harus mengurangi jatah makan harian.

Buku adalah kubu, begitu kata Jehan sang pelukis. Lantas …. berapa banyak  kita sekarang yang senang membaca buku? Berapa banyak yang menulis buku?

Kembali ke Chomsky, jujur saja, saya juga belum pernah membaca kedua buku karyanya …

Mengejar Kematian

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam”.
(QS. Ali Imran : 102)

 

Ada tujuh kebiasaan orang-orang yang efektif kata Stephen R. Covey dalam bukunya, The Seven Habits of Highly Effective PeopleSalah satunya adalah: “Begin with the End in Mind”. Kalau pernyataan itu kita kaitkan dengan konteks kehidupan, apa jadinya? Apa akhir dari kehidupan? Kematian! Bagaimana memulai dengan kematian??

Kematian adalah seperti gunting yang memotong kehidupan kita beserta kesenangan-kesenangan yang ada di dalamnya, setidaknya itu yang ada dalam benak saya. Gunting itu datang secara tiba-tiba di luar kemauan. Bagaimana memulai dari kematian?

Mungkin filsafat Kematian Heidegger jawabannya. Martin Heidegger adalah filosof fenomenologi dari Jerman. Katanya, kita harus mencita-citakan kematian. Kematian yang kita cita-citakan itu akan mewarnai kehidupan kita. Jika kita menginginkan mati sebagai pencinta keluarga maka kehidupan seharusnya kita arahkan untuk mendukung hal itu. Jika kita ingin mati sebagai orang yang pasrah, maka kehidupan yang kita jalani seharusnya kita arahkan untuk mendukung itu. Sehingga, kematian, yang walaupun datang secara tiba-tiba, dapat kita kendalikan. Kematian tidak sekedar berupa gunting yang kita tunggu dengan rasa cemas yang dengannya kita melarikan diri dan melupakannya. Namun, kematian adalah sesuatu yang kita kejar dan kita inginkan dengan bukti yang kita tunjukan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Supernatural Literacy

dia ada dalam dongeng anak anak kita: tentang sangkuriang atau bandung bondowoso

dia hadir dalam sejarah raja raja dan maha patih jaman dulu

dia juga ada di tv tv: bergentayangan masuk ke kamar menjadi pengantar
tidur malam

dia juga mungkin dekat dengan kita
sekarang: dalam politik, dalam
pekerjaan, bahkan dalam percintaan

dia ada sebagai bagian dari realitas

namun adakah suatu peradaban yg
mungkin berdiri kokoh di atasnya?

Jenghis Khan memacu kudanya dengan ribuan pemanahnya yang terlatih:menaklukan dunia

Mobil mobil berdesakan di jalan menanti rasionalitas dan bukan menunggu kesaktian empu gandring

perut orang lapar menganga di jalanan menginginkan nasi dari padi yang sawahnya terbuat dari tanah dan air keringat petani

….

sayup sayup terdengar pelan teriakan
Tan Malaka di ujung desa: robohkan
logika mistik … robohkan logika mistik ..

Di Jalanan

orang-orang, apakah lapar, dijalanan

dipanggilnya nama tuhan agar tuan jadi dermawan

walau tak banyak yang ia pinta, uang logam

orang-orang, entah menipu, dijalanan

dengan kebesaran nama tuhan mereka berharap

tidakah bergetar hati tuan mendengarnya?

orang-orang dijalanan, mungkin benar-benar lapar

atas nama siapa lagi mereka harus meminta?

Mengenal Tuhan

Dari pemikiran Hawking tentang awal terbentuknya alam semesta yang tanpa bantuan tuhan,  saya jadi berfikir (untuk sementara) bahwa hukum sebab-akibat yang melandasi sains tidak cukup untuk dapat menyimpulkan ada atau tidak ada tuhan.  Kesadaran manusia tentang ketuhanan lahir secara individualistik dan mengada secara langsung sebagai sebuah anugrah yang itu berarti sebuah pemberian dari tuhan itu sendiri.  Kesadaran ketuhanan yang dialami oleh individu tersebut bisa jadi dipicu oleh penghayatannya dan kekagumannya terhadap mekanisme alam lewat sains, atau lewat pengalamannya selama berinteraksi langsung dengan makhluk lain.  

 

Berbicara soal anugrah, saya jadi teringat cerita seorang penjahat berat yang ingin bertobat dan yang kemudian bertanya kepada salah seorang wanita sufi pada jamannya,”Apakah jika aku bertobat, tuhan akan memaafkanku?”  Sang sufi menjawab,”Tidak!” “Tapi jika tuhan memaafkanmu maka kamu akan bertobat!”

 

Ah, tapi saya tidak ingin berkemelut dengan persoalan jabariah dan qodariah.  Di sini saya hanya ingin meyakini bahwa tuhan maha hidup, maha rohman, maha rohim dan apa yang dapat dilakukan makhluk adalah mengarahkan diri pada kebaikan karena kebaikan lebih dekat pada kebenaran dan karenanya lebih dekat dengan tuhan.  

 

Kembali ke persoalan penciptaan alam semesta.   Saya menemukan sebuah hadist qudsi yang menyatakan, “Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu ‘an u’raf fa khalaqtu al-khalqa li-kay u’raf” (Aku adalah khazanah tersembunyi dan Aku ingin diketahui. Karena itulah Aku menciptakan makhluk agar Aku dapat diketahui).   Mengingat hadist tersebut saya jadi berfikir bahwa tuhan itu ingin lebih dikenal dan dicintai dari pada ingin ditakuti oleh makhluk-makhlunya. 

 

Di lain hal, maqom-maqom yang harus ditempuh oleh murid-murid tasauf biasanya diawali dengan tobat dan diakhiri dengan mahabah atau ma’rifat.  Al ghazali, al kalabadzi, dan yang lainnya mungkin agak berbeda menempatkan maqom-maqom diantara keduanya, tapi paling tidak diantara keduanya terdapat maqom sabar, syukur, taqwa (takut) dan sebagainya.  Dengan maqom-maqom itu pula saya beralasan untuk meyakini bahwa tuhan itu lebih ingin dikenal dan dicintai daripada ingin ditakuti oleh makhluk-makhluknya.

 

Wallohu ‘alam!

Psikologi Islam

Dengan adanya fakultas-fakultas psikologi di universitas Islam seharusnya apa yang disebut dengan psikologi Islam dapat lebih berkembang dan berkontribusi terhadap ilmu psikologi itu sendiri.  Mungkin hal tersebut sudah terjadi atau belum terjadi, saya tidak tahu.

 

Seperti ilmu-ilmu yang lain, psikologi mulai memisahkan diri dari filsafat sejak dia mulai melakukan eksperimen-eksperimen, pengamatan-pengamatan yang terukur, dan tidak semata-mata berdasarkan pada pemikiran-pemikiran spekulatif.  Walaupun begitu, jejak filsafat masih dapat ditemukan dalam beberapa aliran psikologi seperti misalnya psikologi kognitif yang berakar pada pemikiran Descartes dan Kant.

 

Tampaknya aliran psikologi tertentu tersebut akan dipengaruhi oleh bagaimana cara dia memandang diri-manusia dan mendefinisikan apa itu manusia.  Bahwa menurut pandangan Descartes manusia itu hanya terdiri dari jiwa dan tubuh, maka aliran psikologi tertentu yang berdiri di atasnya akan membuat asumsi-asumsi disekitar itu.

 

Walaupun term psikologi itu sendiri secara harfiah berarti ilmu tentang jiwa, tetapi, menurut saya, psikologi islam tidak cukup untuk diartikan sebagai semata-mata ilmu tentang nafs.  Psikologi Islam harus berdasar pada pandangan Islam tentang manusia.  Alih-alih manusia sekedar tubuh dan jiwa, manusia dalam pandangan Islam terdiri dari akal, ruh, nafs, serta qolbu.

 

Eksperimen-eksperimen yang sering dilakukan oleh para ahli psikologi selama ini banyak yang menggunakan binatang seperti anjing, simpanse, tikus, dan sebagainya (seperti misalnya yang dilakukan oleh Pavlov).  Ada beberapa alasan etis  mengapa mereka menggunakan binatang sebagai ‘kelinci’ percobaan.  Namun jika kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari eksperimen itu kemudian diterapkan pada manusia, itu berarti ada asumsi bahwa manusia pada tingkatan tertentu merupakan perluasan dari binatang.  Sepertinya hal itu harus diterima sebagai pengaruh dari teori evolusi.

 

Kecerdasan Emosi yang diusulkan oleh Daniel Golemann, bagi saya merupakan sesuatu yang cukup fundamental, sangat berpengaruh pada cara pandang kita terhadap kecerdasan.  Kecerdasan tidak lagi dipandang hanya semata-mata tingginya IQ.  Hal ini kemudian menjadi referensi dari semua orang saat ini.  Namun sebagian orang mungkin lupa, atau menganggap tidak cukup penting untuk dipermasalahkan,  bahwa Daniel merumuskan kecerdasan emosi tersebut berdasarkan pada asumsi manusia sebagai hasil evolusi.

 

Point saya adalah jika kita ingin membangun apa yang namanya psikologi islam maka kita harus memperhatikan bagaimana islam memandang manusia.  Hal tersebut berarti bahwa kita harus mampu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ruh, nafs, qolb, maupun aql tadi serta menjadikannya sebagai bahan studi dalam penelitian-penelitian psikologi.  Tidak menutup kemungkinan bahwa selama ini para ahli psikilogi juga sudah bekerja dalam wilayah itu namun dengan istilah-istilah yang berbeda.

 

Wallohu ‘alam ….

Ketidaktahuan

Jauh sebelum kosmologi modern lahir, Al Kindi (803-873) [1] secara filofis menyatakan bahwa alam semesta itu terbatas.  Argumentasinya hanya berdasarkan pada bahwa setiap benda berapapun besarnya pasti terbatas dan kumpulan dari benda-benda itu berapapun banyaknya juga pasti terbatas.   Apa di luar alam semesta?

Kosmologi modern menyatakan bahwa alam semesta kita saat ini tersusun dari:

* 4,6% Atom-atom, yang menyusun semua materi yang tampak seperti: manusia, hewan,   tumbuhan, bumi, galaksi;

* 23% Materi Gelap.  Gelap karena kita tidak dapat mengamati pancaran radiasinya, namun diketahui keberadaannya dari gravitasi yang ditimbulkannya;

* 72% Energi Gelap.  Keberadaan energi ini diperlukan untuk menjelaskan percepatan ekspansi alam semesta. [2]

Mungkin pertanyaan itu tidak bermakna.  Namun menurut Godel, akan ada sesuatu diluar lingkaran alam semesta itu yang ada tapi tidak dapat dibuktikan.

Godel adalah seorang matematikawan.  seorang matematikawan tentu senang dengan bukti.  Namun terdapat sesuatu yang menurut mereka benar tapi tidak dapat dibuktikan.  Misalnya geometri euklidian yang kita pelajari di sekolah menengah dulu.  Segitiga, lingkaran beserta luas dan kelilingnya yang kita pelajari dulu itu berdiri di atas 5 postulat euclid [3].  Walaupun semua orang tahu bahwa kelima postulat euklid itu benar, namun selama 2500 tahun postulat itu tidak dapat dibuktikan kebenarannya [4].

==========

Dulu saya berfikir bahwa sesuatu di luar alam semesta itu adalah tuhan.  Seluas apapun alam semesta maka di luar itu ada tuhan yang tidak terbatas, maha luas! Sejenak saya berhenti dari pemikiran itu karena ada sebuah hadis yang melarang memikirkan dzat Alloh. Namun lingkungan terkadang memaksa seseorang untuk mengingat lagi hal-hal yang sudah dilupakan. 

Belakangan ini saya mempelajari konstruktivisme [5].  Bahwa pengetahuan itu dibentuk berdasarkan pengetahuan sebelumnya.  Manusia membentuk pengetahuan berdasarkan apa-apa yang sudah diketahuinya.  Berdasarkan konstruktivisme jelas bahwa kita tidak dapat mengkonstruksi pengetahuan tentang tuhan, Alloh. Karena dalam al-Qur’an surat al-ikhlas dinyatakan bahwa tidak ada yang menyerupai Dia (walam yakullahu kufuan ahad), oleh karena itu kita, sampai kapanpun, tidak akan sampai pada pengetahuan tentangNya.

Sebagian sufi berpendapat bahwa pengetahuan tentang Alloh adalah ketidaktahuan dan keheranan.  

Wallohu a’lam

 

Ref.

[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Kindi

[2] http://map.gsfc.nasa.gov/universe/uni_matter.html

[3] http://www.mathreference.com/geo,post.html

[4] http://www.cosmicfingerprints.com/incompleteness/

[5] http://viking.coe.uh.edu/~ichen/ebook/et-it/cognitiv.htm