Dengan adanya fakultas-fakulats psikologi di universitas Islam seharusnya apa yang disebut dengan psikologi Islam dapat lebih berkembang dan berkontribusi terhadap ilmu psikologi itu sendiri. Mungkin hal tersebut sudah terjadi atau belum terjadi, saya tidak tahu.
Seperti ilmu-ilmu yang lain, psikologi mulai memisahkan diri dari filsafat sejak dia mulai melakukan eksperimen-eksperimen, pengamatan-pengamatan yang terukur, dan tidak semata-mata berdasarkan pada pemikiran-pemikiran spekulatif. Walaupun begitu, jejak filsafat masih dapat ditemukan dalam beberapa aliran psikologi seperti misalnya psikologi kognitif yang berakar pada pemikiran Descartes dan Kant.
Tampaknya aliran psikologi tertentu tersebut akan dipengaruhi oleh bagaimana cara dia memandang diri-manusia dan mendefinisikan apa itu manusia. Bahwa menurut pandangan Descartes manusia itu hanya terdiri dari jiwa dan tubuh, maka aliran psikologi tertentu yang berdiri di atasnya akan membuat asumsi-asumsi disekitar itu.
Walaupun term psikologi itu sendiri secara harfiah berarti ilmu tentang jiwa, tetapi, menurut saya, psikologi islam tidak cukup untuk diartikan sebagai semata-mata ilmu tentang nafs. Psikologi Islam harus berdasar pada pandangan Islam tentang manusia. Alih-alih manusia sekedar tubuh dan jiwa, manusia dalam pandangan Islam terdiri dari akal, ruh, nafs, serta qolbu.
Eksperimen-eksperimen yang sering dilakukan oleh para ahli psikologi selama ini banyak yang menggunakan binatang seperti anjing, simpanse, tikus, dan sebagainya (seperti misalnya yang dilakukan oleh Pavlov). Ada beberapa alasan etis mengapa mereka menggunakan binatang sebagai ‘kelinci’ percobaan. Namun jika kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari eksperimen itu kemudian diterapkan pada manusia, itu berarti ada asumsi bahwa manusia pada tingkatan tertentu merupakan perluasan dari binatang. Sepertinya hal itu harus diterima sebagai pengaruh dari teori evolusi.
Kecerdasan Emosi yang diusulkan oleh Daniel Golemann, bagi saya merupakan sesuatu yang cukup fundamental, sangat berpengaruh pada cara pandang kita terhadap kecerdasan. Kecerdasan tidak lagi dipandang hanya semata-mata tingginya IQ. Hal ini kemudian menjadi referensi dari semua orang saat ini. Namun sebagian orang mungkin lupa, atau menganggap tidak cukup penting untuk dipermasalahkan, bahwa Daniel merumuskan kecerdasan emosi tersebut berdasarkan pada asumsi manusia sebagai hasil evolusi dari bukan-manusia.
Point saya adalah jika kita ingin membangun apa yang namanya psikologi islam maka kita harus memperhatikan bagaimana islam memandang manusia. Hal tersebut berarti bahwa kita harus mampu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan ruh, nafs, qolb, maupun aql tadi serta menjadikannya sebagai bahan studi dalam penelitian-penelitian psikologi. Tidak menutup kemungkinan bahwa selama ini para ahli psikilogi juga sudah bekerja dalam wilayah itu namun dengan istilah-istilah yang berbeda.
Wallohu ‘alam …